TUGAS TERSTRUKTUR
INDUSTRI DAN TEKNOLOGI PAKAN LOKAL
“POTENSI BAHAN PAKAN LOKAL
UNTUK PAKAN TERNAK UNGGAS”
Oleh :
FIRMAN FEBRIANTO
P2DA12004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2012
PENDAHULUAN
Potensi Bahan Baku Lokal untuk Pakan Ternak Unggas
Latar Belakang
Pakan merupakan salah
satu komponen cukup penting dalam industri perunggasan. Biaya produksi dari
pakan dapat mencapai sekitar 80%. Hal ini
sangat dirasakan khususnya pada peternak mandiri. Tingginya biaya produksi tersebut
disebabkan oleh sebagian besar bahan baku pakan masih di impor, apalagi dengan
adanya kebijakan pemerintah tentang tentang kenaikan bea masuk impor bahan
pakan ternak menjadi lima persen mulai 1 Januari 2012 yang diatur dalam PMK
Nomor 13/PMK.011/2011, banyak pengamat perunggasan memprediksikan harga pakan
akan naik.
Berbagai penelitian yang
telah dilakukan untuk mencari bahan baku alternatif dalam pakan unggas oleh
ahli makanan ternak. Hal tersebut merupakan upaya untuk mengurangi impor bahan
baku dan menurunkan biaya produksi dalam indutsri perunggasan yang berasal dari
pakan. Hasil kajian yang dilakukan menunjukan beberapa bahan baku lokal
mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas. Dalam tulisan
ini akan diuraikan beberapa bahan baku lokal yang dapat menjadi alternatif
untuk pakan unggas.
Pengertian bahan baku lokal untuk pakan ternak unggas
Segala macam bahan baku
baik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah (pertanian, peternakan,
perkebuanan dan industri pengolahannya) yang diperoleh di dalam negeri. Bahan
baku tersebut dapat dimanfaatkan secara efesien oleh ternak. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan baku lokal sebagai pakan ternak,
yaitu: tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah diperoleh,dan dapat
diproduksi secara kontinyu.
Kendala yang sering
ditemukan dalam penggunaan limbah pertanian, peternakan, dan perkebunan sebagai
bahan baku lokal untuk pakan, yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan
protein yang rendah. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut, maka
penambahan bahan-bahan aditif atau imbuhan pakan serta bahan pakan lain masih
perlu dilakukan agar kandungan nutrisnya menjadi lebih baik (komar, 1984).
ISI
Berbagai jenisbahan baku
lokal yang telah dianalisa kandungan nutrisinya yang mempunyai potensi untuk
digunakan sebagai bahan baku pakan ternak unggas, yaitu:
1. Eceng gondok
Eceng
gondok (Eichorniacrassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di
rawa-rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya tenang. Tanaman ini menjadi
kendala di daerah tersebut, karena pertumbuhan bergitu cepat dalam sehari
sekitar 3%, sehingga dalam waktu yang capat dapat menutupi permukaan rawa atau
danau. Keberadaan tanaman ini lebih sering dianggap sebagai gulma air yang
sangat merugikan manusia, karena menyebabkan pendangkalan sungai atau waduk
serta menyebabkan penguapan air dan penurunan unsur hara yang cukup besar
(Mahmilia, 2005).
Hasil
analisis kimia menunjukan komposisi eceng gondok dalam bentuk bahan kering adalah:
protein kasar 6,31%, lemak kasar 2,83%, serat kasar 26,61%, Ca dan P masing-masing
0,47 dan 0,66%, abu 16,12% serta BETN 48,14% (Mahmilia 2005). Menurut
Soedarmono (1983) kandungan protein eceng gondok sekitar 11,95%, akan tetapi
kandungan serat kasarnya cukup tinggi, sehingga dalam pemanfataannya pada
ternak unggas harus dibatasi. Menurut hasil analisis Laboratorium Ilmu Makanan Ternak
(2005), pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pakan mempunyai beberapa kelemahan,
yaitu kandungan air yang tinggi, teksturnya halus, dan banya kmengandung
protein yang sulit dicerna.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kandungan serat
kasar eceng gondok adalah teknologi fermentasi. Hasil penelitian dengan menggunakan
kapang dari galur T.harzianum menujukan
peningkatan nilai gizi tepung
eceng gondok, yaitu: protein
kasar 61,81% dan penurunan serat kasar sebesar 18%. Selanjutnya hasil uji
biologis selama 6 minggu pada ayam ras pedaging menunjukan penggunaan tepung
eceng gondok fermentasi sampai tingkat 15% dapat dilakukan (Mahmilia 2005).
Pada penelitian tersebut tepung eceng gondok yang digunakan merupakan pengganti
dedak dalam ransum. Disamping itu
mikroba lain yang dapat digunakan sebagi fermentator pada eceng gondok adalah Aspergillusniger (Laboratorium Ilmu
Makanan Ternak, 2005). Hasil penelitian lain yang dilakukan Saleh, Rifai dan
Sari (2005), tentang penggunaan tepung daun eceng gondok 15% yang
dikombinasikan dengan paku air 10% (Azollapinnata)
terfermentasi dalam ransum ayam ras pedaging selama delapan minggu tidak
memberikan efek yang merugikan. Eceng
gondok yang digunakan sebagai pakan dalam bentuk segar sebaiknya dimasak dan
dipotong-potong kecil kemudian dicampurkan dengan bahan pakan lain.
2.
Tepung Singkong
Tepung singkong/gaplek mempunyai
kandungan karbohidrat atau sumber energi yang tinggi, hampir menyamai jagung,
akan tetapi miskin kandungan protein (sekitar 2%) dan asam amino. Daun singkong
mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi (21-30% dari bahan kering),
sedangkan onggok kandungan proteinnya rendah, tetapi mengandung karbohidrat.
Salah satu zat antinutrisi dalam umbi dan daun singkong adalah adanya
"sianogenat glukosida" yang dapat membebaskan asam sianida (HCN).
Pada umbi singkong, sebagian besar sianida terdapat pada kulitnya (Ravindran
dan Blair, 1991). Dalam daun singkong segar kandungan sianida ini cukup tinggi,
yaitu sekitar 400-600 ppm. Pengupasan kulit umbi, perendaman, dan pengeringan
dapat menurunkan kadar sianida. Penggunaan tepung gaplek dalam ransum ayam ras
sudah banyak dilaporkan dengan rekomendasi batas penggunaan maksimum antara 20%
hingga 40% untuk ransum bentuk tepung dan 50% hingga 60% untuk ransum bentuk
pelet (Ravindran dan Blair, 1991). Faktor-faktor yang membatasi penggunaan
tepung singkong dalam ransum unggas terutama adalah rendahnya kadar protein,
sifat amba, sifat berdebu, dan tidak adanya pigmen atau zat pewarna. Penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioca hingga 40% dalam ransum ayam broiler
(Togatorop, 1988) dan petelur (Eshiet dan Ademosun dalam Togatorop, 1988) dapat
dilakukan tanpa mengganggu produksi ayam tersebut asalkan keseimbangan gizi dalam
ransum diperhatikan.
Kamal (1983a) mencoba
menggunakan onggok dalam ransum ayam broiler setelah dicampur dengan tetes (9:1).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian campuran onggok-tetes hingga
15% tidak berbeda dengan kontrol. Usaha lain untuk memanfaatkan onggok dalam
ransum ayam juga dilakukan melalui fermentasi. Nur (1995) melakukan fermentasi
onggok dengan kultur campuran Aspergillus oryzae dan A. niger, sehingga produk
ini dapat digunakan dalam ransum ayam broiler hingga 12% tanpa mengganggu
pertumbuhan. Bahkan Karnadi dan Sulaeman (1997) melaporkan penggunaan produk
fermentasi onggok dengan Trichoderma harzianum, hingga 15% dalam ransum ayam
petelur tanpa menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur yang
dihasilkan.
3.
Daun ubi kayu
Tanaman ubi kayu (Manihotutilisima)
cukup populer pada masyarakat Indonesia. Di sebagian wilayah di Indonesia umbinya (singkong) dijadikan sebagai makanan pokok.
Selain umbinya yang dapat dimanfaatkan, bagian daun, khususnya yang tua dapat digunakan
sebagai bahan baku untuk pakan unggas. Daun ubi kayu (segar dan kering)
memiliki kandungan mineral kalsium yang cukup tinggi dibandingkan jagung dan
sorgum. Kandungan kalsium (Ca) daun ubi
kayu 0,25% Posfor (P) 0,15% (Hartadi, Reksohadiprodjo, Tillman, 1986).
Kandungan nutrisi daun ubi kayu berdasarkan bahan kering, yaitu 27,3% protein
kasar, 7,6 sampai 10,5% lemak,5,7 sampai 8,8% serat kasar, 50,1 sampai 51,9%
BETN, energi 1991 kkal/kg danbahan keringnya 81,50% (Gohl, 1981; Widodo, 2009).
Hasil penelitian pada ayam ras pedaging menunjukan, bahwa tepung daun ubi kayu
dapat digunakan dalam campuran ransum sampai 10% (Voght, 1966; Parakkasi, 1983 dalam Widodo, 2009). Apabila level tersebut
dinaikan sampai 20% dalam ransum ayam ras pedaging dapat menurunkan pertambahan
berat badannya (Roos dan Enriques, 1969 dalam
Widodo, 2009). Namun penelitian yang dilakukan Siswantoro (1994),
menunujukan bahwa penggunaan tepung daung ubi kayu sampai level 20% dapat
memperbaiki konsumsi pakan dan bobot badan ayam ras pedaging.
Adanya perbedaan hasil
yang diperoleh dari kedua hasil penelitian tersebut diatas mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kandungan nutrisi tepung daun ubi
kayu. Menurut Widodo (2009), kandungan nutrisi daun ubi kayu dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu: varietas, kesuburan tanah, komposisi campuran daun
dan tangkai, sertaumur tanaman. Disamping itu kandungan asam sianida (HCN) pada
daun ubi kayu merupakan salah satu faktor pembatas dalam penggunaanya dalam
ransum unggas.
Kandungan asam sianida
daun ubi kayu dapat diturunkan melalui proses pelayuan dan pengeringan serta
dapat membantu dalam penyimpanan daun ubi kayu dalam waktu yang cukup lama.
Konsentrasi asam sianida dapat diturunkan dengan cara pengukusan yang
selanjutnya dijemur dibawah sinar matahari (Purwanti, 2006).
4. Bungkil kelapa sawit
Bebera papeneliti melaporkan,
bahwa limbah industri pengolahan kelapa sawit menjadi minyak dapat digunakan
sebagai pakan ternak. Salah satu limbahnya yang memiliki potensi adalah bungkil
kelapa sawit. Kandungan nutrisi bungkil kelapa sawit terutama energi dan
proteinnya tergolong rendah, akan tetapi memiliki dayacerna yang cukup tinggi.
Hasil analisis kandungan nutrisi bungkil kelapa sawityang dilakukan Suhartatik
(1991) dalam Widodo (2009), yaitu
92,12% bahan kering, 12,94 protein, 24,88 serat kasar,3,81 lemak kasar, dan
4,01 abu. Disamping itu kandungan asam amino yang dimiikicukup lengkap.
Bungkil kelapa sawit memiliki
beberapa kelemahan, seperti kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan
kandungan asam amino metionin dan lisin yang rendah, sehingga penggunaanya dalam
ransum unggas harus dibatasi dan disubtitusi asam amino tersebut. Salah
satu upaya yang dilakukan Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor untuk menurunkan
kandungan serat kasar limbah kelapa sawit adalah teknologi fermentasi. Hasil
pengujian biologis menunjukkan bahwa produk fermentasi limbah sawit dapat
digunakan hingga 10% di dalam ransum ayam broiler dan ayam kampung, sedangkan
pada itik yang sedang tumbuh dapat digunakan sampai 15% dalam ransumnya (Sinar
Tani, 2009). Beberapa hasil penelitian lain menunjukan potensi bungkil kelapa
sawit dalam memperbaiki performa ayam ras pedaging, pertambahan berat badan dan
konversi pakan (Lubis, 1980; Hartati
1983 dalam Widodo, 2009). Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan Nazar
dan Budiono (2010), menunjukan bahwa penambahan bungkil kelapa sawit sampai 75%
menyebabkan terjadinya penurunan berat karkas. Hasil penelitian tersebut
menyarankan pemebrian bungkil kelapa sawit dapat dilakukan sampai 25% dalam
ransum ayam ras pedaging.
5.
Limbah Tempe Fermentasi
Limbah tempe masih
mempunyai kandungan gizi, akan tetapi kandungan serat kasarnya yang tinggi
yaitu 44 % sehingga kurang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai bahan pakan
unggas sedangkan kandungan protein kasarnya 12 %. Ternak unggas terbatas dalam
mencerna serat kasar, oleh karena itu diperlukan metode untuk dapat menurunkan
kandungan serat kasar yaitu dengan cara fermentasi. Secara umum, semua produk
akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna
daripada bahan asalnya serta dapat memberikan perubahan dalam rasa, aroma,
tekstur dan daya tahan penyimpanan (Siswantoro, 1999; Supriyati dkk., 1998).
Penggunaan Aspergilllus
niger 0,5 % dan Lactobacillus sp 3 % sebagai fermentor pada tepung limbah tempe
dapat meningkatkan protein kasar dari 12 % menjadi 15 % dan dapat menurunkan
kadar serat kasar dari 44 % menjadi 40 % (Hidanah dkk., 2009), sehingga
diharapkan mampu memperbaiki kecernaannya.
Pemanfaatan tepung
limbah tempe fermentasi berdasarkan daya cerna protein kasar dan bahan kering
dapat digunakan sebagai substitusi jagung pada pakan ayam pedaging sampai
persentase 15% (Hidanah, dkk, 2010). Sedangkan untuk itik bias sampai 30% (
Hervina dkk., 2010)
6.
Orgami
Orgami merupakan hasil
buangan pengolahan penyedap rasa. Setelah melalui proses penyaringan raw sugar
(tetes tebu) dan molases sebagai bahan baku, dihasilkan gypsum. Selanjutnya
melalui tahap koagulasi (penggumpalan) dihasilkan orgami sebagai hasil ikutan
cair dan dielet humus sebagai hasil ikutan padatnya. Nilai gizi orgami adalah
protein 5,28%; lemak 3,41%; air 68,29% dan abu 4,77%.
Selain bahan lokal yang
berasal dari nabati juga dapat memanfaatkan bahan lokal dari hewani yaitu siput
air tawar dan keong emas yang sering dijumpai pada areal persawahan dan kolam
ikan.
7.
Tepung Kulit Pisang
Kulit pisang merupakan
limbah dari industri pengolahan pisang. Pengolahan pisang akan menghasilkan
limbah kulit pisang yang cukup banyak jumlahnya yaitu kira-kira sepertiga dari
buah pisang yang belum dikupas (Munadjim, 1983). Selain menjadi limbah industri
pengolahan pisang, kulit pisang juga merupakan limbah rumah tangga yang jika
dibuang sembarangan akan mengakibatkan orang lain terpeleset dan mengotori
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya pengolahan kulit pisang
menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Limbah kulit pisang ini
dapat dimanfaatkan untuk cuka kulit pisang, nata de banana, wine (anggur), dan
pakan ternak. Dilihat dari komposisinya, kulit pisang memiliki kandungan
vitamin A sangat tinggi, terutama provitamin A, yaitu beta-karoten, sebesar 45
mg per 100 gram berat kering. Beta-karoten berperan sebagai antioksidan
(Elvien, 2010). Selain itu, kulit pisang juga mengandung karbohidrat terutama
bahan ekstrak tanpa nitrogen sebesar 66,20 % (Heruwatno, 1993), sehingga dapat
digunakan untuk mengganti sebagian jagung atau dedak dalam ransum.
Penelitian Hernawati et
al. (2008) menunjukkan pemberian pakan yang mengandung tepung kulit pisang
dengan taraf 30% pada ayam broiler juga dapat menghasilkan daging ayam broiler
dengan kadar kolesterol rendah. Penelitian Hernawati et al. (2009) juga
menunjukkan pemberian pakan yang mengandung tepung kulit pisang hingga taraf
30% pada ayam kampung dapat meningkatkan produksi ayam kampung dilihat dari
pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, kadar kolesterol dalam
serum darah, daging, hati, feses, dan berat organ pencernaan menghasilkan nilai
yang cukup baik.
PENUTUP
Urain potensi bahan baku
lokal untuk ransum unggas dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari bahan
baku lokal yang telah dilakukan pengkajian. Pemanfaatan bahan baku lokal
merupakan salah satu upaya untuk mengurangi impor bahan baku pakan unggas dan
menurunkan biaya produksi dari pakan pada usaha peternakan. Namun penggunaanya dalam
ransum unggas selama ini belum sepopuler dengan bahan baku konvensinal.