pay per click advertising

Selasa, 27 November 2012

Potensi Bahan Pakan Lokal Unggas



TUGAS TERSTRUKTUR
INDUSTRI DAN TEKNOLOGI PAKAN LOKAL
“POTENSI BAHAN PAKAN LOKAL UNTUK PAKAN TERNAK UNGGAS









  


Oleh :
FIRMAN FEBRIANTO
P2DA12004



 



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2012



PENDAHULUAN
Potensi Bahan Baku Lokal untuk Pakan Ternak Unggas
Latar Belakang
Pakan merupakan salah satu komponen cukup penting dalam industri perunggasan. Biaya produksi dari pakan dapat mencapai sekitar 80%.  Hal ini sangat dirasakan khususnya pada peternak mandiri. Tingginya biaya produksi tersebut disebabkan oleh sebagian besar bahan baku pakan masih di impor, apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah tentang tentang kenaikan bea masuk impor bahan pakan ternak menjadi lima persen mulai 1 Januari 2012 yang diatur dalam PMK Nomor 13/PMK.011/2011, banyak pengamat perunggasan memprediksikan harga pakan akan naik.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mencari bahan baku alternatif dalam pakan unggas oleh ahli makanan ternak. Hal tersebut merupakan upaya untuk mengurangi impor bahan baku dan menurunkan biaya produksi dalam indutsri perunggasan yang berasal dari pakan. Hasil kajian yang dilakukan menunjukan beberapa bahan baku lokal mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas. Dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa bahan baku lokal yang dapat menjadi alternatif untuk pakan unggas.
Pengertian bahan baku lokal untuk pakan ternak unggas
Segala macam bahan baku baik yang berasal dari tanaman, hewan, dan limbah (pertanian, peternakan, perkebuanan dan industri pengolahannya) yang diperoleh di dalam negeri. Bahan baku tersebut dapat dimanfaatkan secara efesien oleh ternak. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan baku lokal sebagai pakan ternak, yaitu: tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah diperoleh,dan dapat diproduksi secara kontinyu. 
Kendala yang sering ditemukan dalam penggunaan limbah pertanian, peternakan, dan perkebunan sebagai bahan baku lokal untuk pakan, yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan protein yang rendah. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut, maka penambahan bahan-bahan aditif atau imbuhan pakan serta bahan pakan lain masih perlu dilakukan agar kandungan nutrisnya menjadi lebih baik (komar, 1984).



ISI
Berbagai jenisbahan baku lokal yang telah dianalisa kandungan nutrisinya yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ternak unggas, yaitu:
1.    Eceng gondok
Eceng gondok (Eichorniacrassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di rawa-rawa, danau, waduk dan sungai yang alirannya tenang. Tanaman ini menjadi kendala di daerah tersebut, karena pertumbuhan bergitu cepat dalam sehari sekitar 3%, sehingga dalam waktu yang capat dapat menutupi permukaan rawa atau danau. Keberadaan tanaman ini lebih sering dianggap sebagai gulma air yang sangat merugikan manusia, karena menyebabkan pendangkalan sungai atau waduk serta menyebabkan penguapan air dan penurunan unsur hara yang cukup besar (Mahmilia, 2005).
Hasil analisis kimia menunjukan komposisi eceng gondok dalam bentuk bahan kering adalah: protein kasar 6,31%, lemak kasar 2,83%, serat kasar 26,61%, Ca dan P masing-masing 0,47 dan 0,66%, abu 16,12% serta BETN 48,14% (Mahmilia 2005). Menurut Soedarmono (1983) kandungan protein eceng gondok sekitar 11,95%, akan tetapi kandungan serat kasarnya cukup tinggi, sehingga dalam pemanfataannya pada ternak unggas harus dibatasi. Menurut hasil analisis Laboratorium Ilmu Makanan Ternak (2005), pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku pakan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu kandungan air yang tinggi, teksturnya halus, dan banya kmengandung protein yang sulit dicerna.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kandungan serat kasar eceng gondok adalah teknologi fermentasi. Hasil penelitian dengan menggunakan kapang dari galur T.harzianum menujukan peningkatan nilai gizi tepung  eceng gondok,  yaitu: protein kasar 61,81% dan penurunan serat kasar sebesar 18%. Selanjutnya hasil uji biologis selama 6 minggu pada ayam ras pedaging menunjukan penggunaan tepung eceng gondok fermentasi sampai tingkat 15% dapat dilakukan (Mahmilia 2005). Pada penelitian tersebut tepung eceng gondok yang digunakan merupakan pengganti dedak dalam ransum.  Disamping itu mikroba lain yang dapat digunakan sebagi fermentator pada eceng gondok adalah Aspergillusniger (Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, 2005). Hasil penelitian lain yang dilakukan Saleh, Rifai dan Sari (2005), tentang penggunaan tepung daun eceng gondok 15% yang dikombinasikan dengan paku air 10% (Azollapinnata) terfermentasi dalam ransum ayam ras pedaging selama delapan minggu tidak memberikan efek yang merugikan.  Eceng gondok yang digunakan sebagai pakan dalam bentuk segar sebaiknya dimasak dan dipotong-potong kecil kemudian dicampurkan dengan bahan pakan lain. 
2.    Tepung Singkong
Tepung singkong/gaplek mempunyai kandungan karbohidrat atau sumber energi yang tinggi, hampir menyamai jagung, akan tetapi miskin kandungan protein (sekitar 2%) dan asam amino. Daun singkong mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi (21-30% dari bahan kering), sedangkan onggok kandungan proteinnya rendah, tetapi mengandung karbohidrat. Salah satu zat antinutrisi dalam umbi dan daun singkong adalah adanya "sianogenat glukosida" yang dapat membebaskan asam sianida (HCN). Pada umbi singkong, sebagian besar sianida terdapat pada kulitnya (Ravindran dan Blair, 1991). Dalam daun singkong segar kandungan sianida ini cukup tinggi, yaitu sekitar 400-600 ppm. Pengupasan kulit umbi, perendaman, dan pengeringan dapat menurunkan kadar sianida. Penggunaan tepung gaplek dalam ransum ayam ras sudah banyak dilaporkan dengan rekomendasi batas penggunaan maksimum antara 20% hingga 40% untuk ransum bentuk tepung dan 50% hingga 60% untuk ransum bentuk pelet (Ravindran dan Blair, 1991). Faktor-faktor yang membatasi penggunaan tepung singkong dalam ransum unggas terutama adalah rendahnya kadar protein, sifat amba, sifat berdebu, dan tidak adanya pigmen atau zat pewarna. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioca hingga 40% dalam ransum ayam broiler (Togatorop, 1988) dan petelur (Eshiet dan Ademosun dalam Togatorop, 1988) dapat dilakukan tanpa mengganggu produksi ayam tersebut asalkan keseimbangan gizi dalam ransum diperhatikan.
Kamal (1983a) mencoba menggunakan onggok dalam ransum ayam broiler setelah dicampur dengan tetes (9:1). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian campuran onggok-tetes hingga 15% tidak berbeda dengan kontrol. Usaha lain untuk memanfaatkan onggok dalam ransum ayam juga dilakukan melalui fermentasi. Nur (1995) melakukan fermentasi onggok dengan kultur campuran Aspergillus oryzae dan A. niger, sehingga produk ini dapat digunakan dalam ransum ayam broiler hingga 12% tanpa mengganggu pertumbuhan. Bahkan Karnadi dan Sulaeman (1997) melaporkan penggunaan produk fermentasi onggok dengan Trichoderma harzianum, hingga 15% dalam ransum ayam petelur tanpa menyebabkan penurunan produksi dan kualitas telur yang dihasilkan.
3.    Daun ubi kayu
Tanaman ubi kayu  (Manihotutilisima) cukup populer pada masyarakat Indonesia. Di sebagian wilayah di Indonesia  umbinya (singkong) dijadikan sebagai makanan pokok. Selain umbinya yang dapat dimanfaatkan, bagian daun, khususnya yang tua dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pakan unggas. Daun ubi kayu (segar dan kering) memiliki kandungan mineral kalsium yang cukup tinggi dibandingkan jagung dan sorgum.  Kandungan kalsium (Ca) daun ubi kayu 0,25% Posfor (P) 0,15% (Hartadi, Reksohadiprodjo, Tillman, 1986). Kandungan nutrisi daun ubi kayu berdasarkan bahan kering, yaitu 27,3% protein kasar, 7,6 sampai 10,5% lemak,5,7 sampai 8,8% serat kasar, 50,1 sampai 51,9% BETN, energi 1991 kkal/kg danbahan keringnya 81,50% (Gohl, 1981; Widodo, 2009). Hasil penelitian pada ayam ras pedaging menunjukan, bahwa tepung daun ubi kayu dapat digunakan dalam campuran ransum sampai 10% (Voght, 1966; Parakkasi, 1983 dalam Widodo, 2009). Apabila level tersebut dinaikan sampai 20% dalam ransum ayam ras pedaging dapat menurunkan pertambahan berat badannya (Roos dan Enriques, 1969 dalam Widodo, 2009). Namun penelitian yang dilakukan Siswantoro (1994), menunujukan bahwa penggunaan tepung daung ubi kayu sampai level 20% dapat memperbaiki konsumsi pakan dan bobot badan ayam ras pedaging.
Adanya perbedaan hasil yang diperoleh dari kedua hasil penelitian tersebut diatas mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kandungan nutrisi tepung daun ubi kayu. Menurut Widodo (2009), kandungan nutrisi daun ubi kayu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: varietas, kesuburan tanah, komposisi campuran daun dan tangkai, sertaumur tanaman. Disamping itu kandungan asam sianida (HCN) pada daun ubi kayu merupakan salah satu faktor pembatas dalam penggunaanya dalam ransum unggas.
Kandungan asam sianida daun ubi kayu dapat diturunkan melalui proses pelayuan dan pengeringan serta dapat membantu dalam penyimpanan daun ubi kayu dalam waktu yang cukup lama. Konsentrasi asam sianida dapat diturunkan dengan cara pengukusan yang selanjutnya dijemur dibawah sinar matahari (Purwanti, 2006).
4.    Bungkil kelapa sawit
Bebera papeneliti melaporkan, bahwa limbah industri pengolahan kelapa sawit menjadi minyak dapat digunakan sebagai pakan ternak. Salah satu limbahnya yang memiliki potensi adalah bungkil kelapa sawit. Kandungan nutrisi bungkil kelapa sawit terutama energi dan proteinnya tergolong rendah, akan tetapi memiliki dayacerna yang cukup tinggi. Hasil analisis kandungan nutrisi bungkil kelapa sawityang dilakukan Suhartatik (1991) dalam Widodo (2009), yaitu 92,12% bahan kering, 12,94 protein, 24,88 serat kasar,3,81 lemak kasar, dan 4,01 abu. Disamping itu kandungan asam amino yang dimiikicukup lengkap.
Bungkil kelapa sawit memiliki beberapa kelemahan, seperti kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan kandungan asam amino metionin dan lisin yang rendah, sehingga penggunaanya dalam ransum unggas harus dibatasi dan disubtitusi asam amino tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor untuk menurunkan kandungan serat kasar limbah kelapa sawit adalah teknologi fermentasi. Hasil pengujian biologis menunjukkan bahwa produk fermentasi limbah sawit dapat digunakan hingga 10% di dalam ransum ayam broiler dan ayam kampung, sedangkan pada itik yang sedang tumbuh dapat digunakan sampai 15% dalam ransumnya (Sinar Tani, 2009). Beberapa hasil penelitian lain menunjukan potensi bungkil kelapa sawit dalam memperbaiki performa ayam ras pedaging, pertambahan berat badan dan konversi pakan (Lubis,  1980; Hartati 1983 dalam Widodo, 2009).  Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan Nazar dan Budiono (2010), menunjukan bahwa penambahan bungkil kelapa sawit sampai 75% menyebabkan terjadinya penurunan berat karkas. Hasil penelitian tersebut menyarankan pemebrian bungkil kelapa sawit dapat dilakukan sampai 25% dalam ransum ayam ras pedaging.
5.    Limbah Tempe Fermentasi
Limbah tempe masih mempunyai kandungan gizi, akan tetapi kandungan serat kasarnya yang tinggi yaitu 44 % sehingga kurang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai bahan pakan unggas sedangkan kandungan protein kasarnya 12 %. Ternak unggas terbatas dalam mencerna serat kasar, oleh karena itu diperlukan metode untuk dapat menurunkan kandungan serat kasar yaitu dengan cara fermentasi. Secara umum, semua produk akhir fermentasi biasanya mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna daripada bahan asalnya serta dapat memberikan perubahan dalam rasa, aroma, tekstur dan daya tahan penyimpanan (Siswantoro, 1999; Supriyati dkk., 1998).
Penggunaan Aspergilllus niger 0,5 % dan Lactobacillus sp 3 % sebagai fermentor pada tepung limbah tempe dapat meningkatkan protein kasar dari 12 % menjadi 15 % dan dapat menurunkan kadar serat kasar dari 44 % menjadi 40 % (Hidanah dkk., 2009), sehingga diharapkan mampu memperbaiki kecernaannya.
Pemanfaatan tepung limbah tempe fermentasi berdasarkan daya cerna protein kasar dan bahan kering dapat digunakan sebagai substitusi jagung pada pakan ayam pedaging sampai persentase 15% (Hidanah, dkk, 2010). Sedangkan untuk itik bias sampai 30% ( Hervina dkk., 2010)
6.    Orgami
Orgami merupakan hasil buangan pengolahan penyedap rasa. Setelah melalui proses penyaringan raw sugar (tetes tebu) dan molases sebagai bahan baku, dihasilkan gypsum. Selanjutnya melalui tahap koagulasi (penggumpalan) dihasilkan orgami sebagai hasil ikutan cair dan dielet humus sebagai hasil ikutan padatnya. Nilai gizi orgami adalah protein 5,28%; lemak 3,41%; air 68,29% dan abu 4,77%.
Selain bahan lokal yang berasal dari nabati juga dapat memanfaatkan bahan lokal dari hewani yaitu siput air tawar dan keong emas yang sering dijumpai pada areal persawahan dan kolam ikan.
7.    Tepung Kulit Pisang
Kulit pisang merupakan limbah dari industri pengolahan pisang. Pengolahan pisang akan menghasilkan limbah kulit pisang yang cukup banyak jumlahnya yaitu kira-kira sepertiga dari buah pisang yang belum dikupas (Munadjim, 1983). Selain menjadi limbah industri pengolahan pisang, kulit pisang juga merupakan limbah rumah tangga yang jika dibuang sembarangan akan mengakibatkan orang lain terpeleset dan mengotori lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya pengolahan kulit pisang menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Limbah kulit pisang ini dapat dimanfaatkan untuk cuka kulit pisang, nata de banana, wine (anggur), dan pakan ternak. Dilihat dari komposisinya, kulit pisang memiliki kandungan vitamin A sangat tinggi, terutama provitamin A, yaitu beta-karoten, sebesar 45 mg per 100 gram berat kering. Beta-karoten berperan sebagai antioksidan (Elvien, 2010). Selain itu, kulit pisang juga mengandung karbohidrat terutama bahan ekstrak tanpa nitrogen sebesar 66,20 % (Heruwatno, 1993), sehingga dapat digunakan untuk mengganti sebagian jagung atau dedak dalam ransum.
Penelitian Hernawati et al. (2008) menunjukkan pemberian pakan yang mengandung tepung kulit pisang dengan taraf 30% pada ayam broiler juga dapat menghasilkan daging ayam broiler dengan kadar kolesterol rendah. Penelitian Hernawati et al. (2009) juga menunjukkan pemberian pakan yang mengandung tepung kulit pisang hingga taraf 30% pada ayam kampung dapat meningkatkan produksi ayam kampung dilihat dari pertambahan bobot badan, konsumsi pakan, konversi pakan, kadar kolesterol dalam serum darah, daging, hati, feses, dan berat organ pencernaan menghasilkan nilai yang cukup baik.
PENUTUP
Urain potensi bahan baku lokal untuk ransum unggas dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil dari bahan baku lokal yang telah dilakukan pengkajian. Pemanfaatan bahan baku lokal merupakan salah satu upaya untuk mengurangi impor bahan baku pakan unggas dan menurunkan biaya produksi dari pakan pada usaha peternakan. Namun penggunaanya dalam ransum unggas selama ini belum sepopuler dengan bahan baku konvensinal.





DAFTAR PUSTAKA
Hernawati dan Aryani A. (2007). Tepung Kulit Pisang Sebagai Pakan Alternatif Ternak Unggas. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Bandung: tidak diterbitkan.
Hervina, Linda, Sri H., Hana E., Ratna D. 2010. Pemanfaatan Tepung Limbah Tempe Fermentasi Sebagai Substitusi Jagung Terhadap Daya Cerna Protein Kasar dan Bahan Kering Ayam Pedaging Jantan. Skripsi. Departemen Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Hidanah, S., H. Setyono, D. S. Nazar, W. P. Lokapirnasari dan Pratisto. 2009. Potensi Limbah Kulit Ari Kedelai yang diproses secara Kimiawi dan Fermentasi untuk Peningkatan Performans Ayam Pedaging. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Hidanah, Sri, Rahmawati R.H., Lilik M. 2010. Pemanfaatan Tepung Limbah Tempe Fermentasi Sebagai Substitusi Jagung Terhadap Daya Cerna Protein Kasar dan Bahan Kering Ayam Pedaging Jantan. Artikel Ilmiah. Departemen Ilmu Kedokteran Dasar Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Kamal, M. 1983a. Pemanfaatan onggok-tetes sebagai bahan pakan ayam pedaging. Proc. Seminar Pemanfatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk Makanan Ternak. LKN-LIPI, Bandung. hal. 38-43.
Karnadi dan A. Sulaeman. 1997. Pengaruh penggunaan ransum onggok fermentasi dengan Trichoderma harzianum terhadap kualitas telur ayam ras petelur. Pros. Seminar Nasional II Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal. 91-92.
Mahmilia, F. 2005. Perubahan nilai gizi tepung eceng gondok fermentasi dan pemanfaatannya sebagai ransum ayam pedaging. JITV 10(2): 90-95.
Nur, Y.S. 1995. Berbagai taraf pemberian produk onggok fermentasi dengan kultur campuran dalam ransum broiler. Proc. Seminar Nasional dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak. Bogor. hal. 244-248.
Ravindran, V. and R. Blair. 1992. Feed resources for poultry production in Asia and the Pacific. II. Plant protein sources. W. Poult. Sci. J. 48:205-231.
Siswantoro, D. 1999. Pengaruh Kulit Biji Cokelat yang Difermentasi sebagai Bahan Substitusi Pakan terhadap Kadar Protein Daging, Berat Hati dan Pankreas Ayam Pedaging Jantan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998. Fermentasi Bungkil Inti Sawit secara Substrat padat dengan Menggunakan A.Niger. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3 (3) : 165-170.
Togatorop, M.H. 1988. Pengaruh Penggunaan Tapioka dalam Ransum yang Mengandung Tingkat Energi dan Protein Terhadap Performans Ayam Pedaging. Disertasi S3. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar